Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jejak Pedagang China Muslim di Papua



Seorang Pedagang China di Jawa, 1900-an 

HISTORIS masuknya Agama Islam di Papua masih menjadi perdebatan yang hangat dikalangan para sejarawan. Penyebaran siar Agama Islam pertama kali masuk di kepulauan Raja Ampat dan wilayah pesisir Onin Fakfak dan sekitarnya. Beberapa versi tentang asal usul masuknya agama tersebut sudah banyak di ulas oleh para penulis baik penulis Papua sendiri maupun penulis non Papua. Beberapa meyakini bahwa agama ini masuk melalui kesultanan Tidore.

“Agama Islam diterima lewat hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Maluku dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Raja Ampat yang diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-15 (Van der Leeden 1980:397). Oleh karena agama Islam masuk lewat hubungan perdagangan, maka para pemeluknya hanya terbatas pada kelompok-kelompok yang terlibat dalam perdagangan itu saja.” Tulis Mansoben (1995) hal. 262. 

Para penyiar Islam yang membawa masuknya Agama Islam ke Papua ini menurut beberapa sumber-sumber berasal dari orang Arab, Sulawesi (Makassar, Bugis) Jawa, Maluku (Tidore, Ternate, Seram), dan Buton. Namun, sepertinya mereka ragu mengangkat eksistensi orang Cina Muslim dalam penyebaran Agama Islam di Nusantara dan lebih khususnya di tanah Papua, memang kurangnya sumber informasi bisa menjadi penyebab. Dalam catatan Tan Ta Sen (2010) seorang sejarawan dan sinolog menjelaskan peran para pedagang China Muslim di kepulauan Nusantara pada abad ke-15 dan ke-16. China muslim mulai “membangun komunitas Muslim Jawa di Ngampel, Surabaya dan perlahan-lahan meluas ke beberapa pelabuhan strategis di pesisir timur dan utara Jawa, seperti Gresik, Tuban, Demak, dan Cirebon.” 

Pelabuhan Gresik, 1900, KITLV

Pada periode 1400-an, Gresik menjadi pelabuhan dagang yang ramai dikunjungi para pedagang. Kemudian Gresik begitu menonjol dikarenakan agama Islam berkembang di sana dan menyebar ke berbagai negeri. Komunitas-komunitas Cina sudah lama berdagang di sana. Terlihat dari kunjungan Cheng Ho yang melihat pemukiman yang luas dari para pedagang Tionghoa yang tiba pada akhir abad ke-14. "Kota Gresik di pantai utara Jawa ternyata diperintah oleh seorang yang berasal dari propinsi guangdong (Kwantung) dan 1.000 keluarga Tionghoa hidup di sana." Tulis Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008). 

Para pedagang China Muslim (sino-jawa) ini tampaknya meluaskan pelayaran mereka hingga ke Papua.  Komoditi yang menguntungkan di Papua telah mendorong pedagang-pedagang China untuk berdatangan ke Papua. Dan, dalam banyak kisah tutur di Papua para pedagang Tiongkok banyak di sebutkan sepak terjang mereka di tanah Papua.  

Selain pedagang China, ada pedagang Jawa, Bugis, Makassar, Seram dan pedagang Arab yang banyak berasal dari Jawa, yakni Gresik. Salah satu pedagang Arab yang dicatat oleh F.S.A. de Clercq dalam laporannya "Rapport Over Drie Reizen naar het Nederlandsche gedeelte van Nieuw- Guinea" (1891) bahwa  ada seorang Arab Islam bernama Syek Moehamad bin Said bin Achmad Baoedjir, penduduk Hindia Belanda sejak tahun 1862 yang berasal dari Gresik, yang telah tinggal di teluk Sekar selama beberapa bulan setiap tahun selama sepuluh tahun berturut-turut untuk membeli produk pala yang dalam masyarakat setempat disebut Henggi. De Clercq juga melaporkan bahwa ketika mereka mengunjungi kampung-kampung Sisir, Kabituar, Mandoni, Patimburak ada banyak rumah di sana. Misalnya di salah satu kampung terdapat 15 rumah dengan jumlah penduduk 300 jiwa semuanya beragama Islam. 

Dalam buku Reizen in West-Nieuw-Guinea (1905-1907), J. W. Van Hille mencatat kisah lisan dari Raja Rumbati yang menceritakan bahwa leluhur mereka Raja pertama berasal dari Gresik-Surabaya (Jawa) yang bernama "Bau" yang merupakan seorang pelaut (nakoda kapal). Bau kemudian menikah dengan dua wanita Papua yang berasal dari Anggiluli dan Kowiai.  Menurut perhitungan geneologi Bauw ini hidup/menjadi Raja pertama Rumbati sekitar tahun 1412-1432 M?.  Tidak ada keterangan mengenai nama Bauw ini maupun status agamanya. Apakah nama Bauw ini merujuk kepada nama orang atau nama klan (marga). Pada tahun 1686 tercatat seorang raja “Baauw”. Di masa kini Bauw merupakan nama marga (fam) oleh keturunan raja Rumbati.  

Menariknya, dalam buku Daftar marga Tionghoa di Jakarta (2000) menulis marga-marga  orang Tionghoa di pulau Jawa salah satunya adalah marga Bao (薄, 包). Dalam dialek katon dibaca Bau (Baaw). Dialek Hakka dibaca Pau. Kata Baaw ini juga terdapat pada  nama seorang tokoh China terkenal Cheng Ho (1371-1471) yang melakukan penjelajahan ataupun kunjungan-kunjungannya ke pulau Jawa dan sekitarnya memiliki sebutan lain yakni Sam Po dalam dialek Fujian atau San Bao (馬 三保) dalam bahasa Tiongkok (Mandarin).  

Dalam sejarah perkawinan orang Papua di masa lalu, kita melihat bahwa para pedagang China maupun orang Melayu sering kali mengawini pria dan perempuan asli Papua yakni agar bisnis maupun hubungan-hubungan lain bisa berjalan dengan baik. Jadi, kemungkinan Bauw ini merupakan pedagang Tionghoa atau mungkin turunan Cina-Jawa yang melakukan pelayaran dari Gresik hingga ke Papua untuk berdagang kemudian ikut menyebarkan agama Islam dikalangan keluarganya. 

Selain, di Onin Fakfak ada kisah turun temurun dari keluarga Abdullah Arfan di Raja Ampat yang dikisahkan bahwa ada seorang bergelar Fun Kalawen berasal dari Waigeo yang menikah dengan Siti Hawa Farouk. Asal Siti Hawa Farouk ini dari Cirebon, dan konon setelah menikah dengan Siti, Raja Fun Kalawen kemudian masuk Islam. (Ali Athwa, 2004). Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Gresik dan Cirebon merupakan tempat pelabuhan perdagangan yang bukan saja menjadi basis perdagangan komoditi tapi sebagai tempat penyebaran Agama Islam.   

Memang, belum banyak bukti yang dikumpulkan, sehingga dalam artikel singkat ini menjadi bahan penelusuran dan penelitian lebih lanjut untuk melihat berbagai aspek hubungan masyarakat Papua dan pedagang-pedagang dari luar Papua di zaman dulu. 

Posting Komentar untuk "Jejak Pedagang China Muslim di Papua"