Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Randan Antologi Puisi Byak

 

Puisi Biak
Cover Buku Antologi Byak


Selama hampir satu abad telah berlalu pengetahuan sastra puisi bahasa Biak mati suri. Penulisan karya sastra tua leluhur orang Biak seperti Randan, Kankarindam, Kansyaru, Dow beuser jarang diangkat ke permukaan dan tidak tercatat secara berkala. Ini berbeda dengan penulisan karya ilmiah berupa kamus bahasa Biak yang telah dirintis oleh penjelajah dan penulis Eropa sejak tahun 1779 hingga awal tahun 1900-an, juga terdapat Alkitab bahasa Biak, sejarah pelayaran, dan tradisi budaya Biak lainnya yang dapat kita temui dalam buku-buku, risalah, artikel, dan bahan-bahan lainnya yang banyak tersebar baik secara tercetak maupun secara digital.  

Puisi Biak
Daftar Isi Buku Antologi Byak


Pada masa lalu, ada orang-orang tertentu yang memiliki bakat dalam menciptakan lirik-lirik atau syair-syair puisi tradisional. Mereka ini disebut Manwarwor atau Manbewor. Puisi-puisi tradisional Biak dapat kita temui dalam beragam nyanyian adat seperti randan, kankarindan, kansyaru, beuser, kankanes beba, dow dan bentuk nyanyian lainnya. Puisi-puisi di masa lalu, bukan hanya sekedar ciptaan lirik tanpa makna—puisi-puisi tersebut mengandung nilai spiritual, edukasi, sosial, kisah kelam, dan mengisahkan kepedihan, kebahagiaan, dan kehidupan orang Biak di masa lampau. Karena di masa lampau para manbewor ini belum mengenal budaya tulis (system aksara) sehingga mereka lebih banyak melagukan puisi-puisi tersebut. 

Puisi Biak
Lampiran Terjemahan Antologi Puisi Byak


Misionaris dan sejarawan kelahiran Doreri, F. J. F. Van Hasselt merupakan salah satu pelopor sastra Byak yang mengangkat tema-tema cerita rakyat ber-gendre fabel yang dimuat dalam “Nufoorsche Fabelen en Vertellingen” (Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië) tahun 1908. Karena dibesarkan dalam lingkungan suku Biak, sehingga ia banyak mengumpulkan karya-karya sastra termasuk menulis beberapa kamus bahasa Biak-Belanda.

Karyanya ini berdampak positif  bagi sastra bahasa Biak dan begitu menginspirasi banyak orang, terutama generasi Biak. Jejak karya sastra leluhur orang Biak seperti Randan dan Kankarindam dimuat juga dalam buku Schouten- en Padaido-eilanden (Mededeelingen Encyclopaedisch Bureau 21). Batavia, 1920 oleh seorang tokoh militer dan pengarang Belanda bernama Willem Karel Hendrik Feuilletau de Bruyn (1886-1972), konon melakukan ekspedisi ke kepulauan Biak Numfor di beberapa kampung pada sekitar tahun 1915-1919. Selain de Bryun adapula beberapa penulis dan sejarawan orang Belanda yang menulis mengenai kesastraan Biak pada abad ke-19 dan abad ke-20. Terdapat pula rekaman-rekaman syair lagu rakyat Byak pada 1960-1970-an oleh para antropolog Belanda, seniman dan budayawan Biak seperti Dr. F. C. Kamma, Arnold C. Ap, Sam Kapisa, Dem Waryap Kurni dan beberapa seniman lokal Biak lainnya yang tidak kami sebutkan.

Acara Pelangi Budaya Irian Jaya yang diselenggaran oleh Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih membuat edisi khusus siaran radio budaya Iryani yang ke empat tahun 1979. Dalam siaran itu ditampilkan beragam kisah tutur dongeng-dongeng suci atau legenda suku-suku di Papua khusus legenda-legenda di teluk Cenderawasih.  Penyiar radio tersebut menjelaskan dalam siaran radio tersebut bahwa “Bangsa-bangsa yang tidak mengenal tulisan maka cara mengawetkan tradisinya yang dipandang sakral dan keramat itu secara lisan. Dongeng itu diwariskan secara lisan atau melalui penuturan secara lisan ini dapat berbentuk prosa, yakni cerita dengan bahasa bebas, dapat pula secara puisi yakni disampaikan melalui syair. Syair ini banyak ditemui dalam nyanyian-nyanyian adat tradisional. Selain nilai-nilai sastra maka mite atau dongeng-dongeng suci ini mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi”.

Muncul pula buku “Ungkapan Tradisional dan Maknanya: Bahasa Biak Numfor…Daerah Irian Jaya” tahun 1982/1983 yang ditulis oleh para dosen, seniman dan budayawan Biak yang mana ungkapan-ungkapan tersebut dikategorikan sebagai wos peper atau disebut juga wos sinan (wos bekwar). Terdapat 100 ungkapan tradisonal sastra bahasa Biak yang dicatat dalam buku tersebut.

Kurangnya perhatian mengenai jenis-jenis karya sastra seperti puisi (randan dan beberapa jenisnya) mengakibatkan pengetahuan sastra ini tidak nampak dan nyaris punah. Apalagi generasi muda saat ini tidak cakap dalam melantunkan dan membuat syair puisi Byak. Dan, dewasa ini, banyak dari generasi anak Papua khususnya kalangan sastrawan dan penulis orang Biak lebih memilih menulis dalam bahasa Indonesia ketimbang menulis dalam bahasa Biak.

Maka, melalui karya sastra “Antologi Puisi Byak” ini, Bapak Wadofes M. Kurni mencoba untuk mengisi ruang-ruang kosong pada sastra puisi Byak yang telah mengalami kemunduran dan nyaris punah.  Bapak W. M. Kurni merupakan seorang pengukir dan penulis syair Biak yang aktif dalam dunia seni sastra dan seni tari sejak tahun 1970 hingga sekarang masih terus membuat karangan-karangan sastra Byak. Max Kurni ikut berkontribusi dalam menyumbangkan empat cerita rakyat Biak pada buku “Cerita Rakyat Kabupaten Biak Numfor” yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Papua Dinas Kebudayaan Pembinaan Sastra Daerah” tahun 2006.

Syair-syair puisi yang dibuatnya mengisahkan tentang kehidupan alam, cinta, penyesalahan, pendidikan, harapan, kasih dan kisah-kisah kehidupan di kampung yang dibalut dalam diksi-diksi khas syair Byak. Beberapa syair sudah dibuat dari tahun 1970-an, dan beberapa syair ini telah dilagukan dalam ‘rekaman indi’ tahun 2007-2012 namun tidak tersebar luas. Dalam buku Antologi Puisi Byak, Max Kurni menghadirkan beberapa puisi lama bahasa Biak, misalnya syair puisi  “Wonyai”. Puisi yang dibuat oleh leluhur Max Kurni bernama Munyari Kurni sekitar tahun ±1630-an dimana mengisahkan kisah pilu kematian sang Ibu yang dikasihinya dan kematian pamannya.

Agar buku ini bisa dipahami oleh semua orang, kami menerjemahkan puisi-puisi bahasa Biak ini ke dalam makna bahasa Indonesia berserta riwayat singkat kisah tersebut sehingga menambah bobot dari antologi puisi Byak. Termasuk beberapa ungkapan wos peper (bahasa kiasan) di masukan juga dalam buku ini.Kehadiran buku ini setidaknya dapat memicu para seniman musik, penyair, sastrawan Byak untuk menulis dan mendokumentasikan karya-karya mereka sehingga karya sastra tidak hadir dalam lagu-lagu saja atau tidak hanya sekedar dinyanyikan tapi dibukukan dan mendapat perhatian khusus generasi Byak di abad ke-21. Semoga buku “RANDAN ANTOLOGI PUISI BYAK” memberikan manfaat dan menjadi bagian dari kekayaan intelektual orang Biak dalam sastra puisi bahasa daerah. Semoga bermanfaat bagi para Pembaca yang budiman. Syowi Kasumasa!

Posting Komentar untuk "Buku Randan Antologi Puisi Byak"